Dalam antropologi budaya, timbal balik (reciprocity) mengacu pada pertukaran barang-barang atau tenaga kerja yang terjadi di luar pasar, mulai dari barter langsung (pertukaran segera) hingga bentuk-bentuk pertukaran hadiah dimana penerimaan kembali pada akhirnya diharapkan (pertukaran tertunda), seperti pada pertukaran hadiah ulang tahun. Maka demikian, timbal balik berbeda dari hadiah yang sebenarnya, dimana tidak ada imbalan yang diharapkan.[1] Timbal balik ini dikatakan sebagai dasar dari sebagian besar bursa non-pasar. David Graeber berpendapat bahwa seperti yang saat ini digunakan, 'timbal-balik' dapat berarti hampir mencakup apa saja. Hal ini sangat dekat dengan sesuatu yang tidak artinya/sia-sia.[2]
Ketika pertukaran terjadi secara langsung, seperti dalam barter, hubungan sosial tidak terbentuk. Ketika pertukaran terjadi secara tertunda, maka tercipta hubungan serta kewajiban untuk mengembalikan (misalnya hutang). Oleh karena itu, beberapa bentuk timbal balik dapat membangun hierarki jika hutang tidak dibayar. Gagal mengembalikan hutang dapat mengakhiri hubungan di antara sesama rekan. Pertukaran timbal balik juga dapat memiliki efek politik melalui penciptaan beberapa kewajiban dan pembentukan kepemimpinan, seperti dalam pertukaran hadiah (Moka) di antara "orang-orang besar" di Melanesia. Beberapa bentuk timbal balik dengan demikian erat terkait dengan pendistribusian kembali, dimana barang dan jasa yang dikumpulkan oleh tokoh sentral pada akhirnya didistribusikan kepada para pengikut mereka.[3]
Marshall Sahlins, antropolog budaya terkenal Amerika, mengidentifikasi tiga jenis utama timbal balik (tergeneralisasi, seimbang, dan negatif) dalam buku Stone Age Economics (ekonomi zaman batu) pada tahun 1972.[3] Timbal balik juga merupakan prinsip umum yang digunakan oleh Claude Levi-Strauss untuk menjelaskan Elementary Structures of Kinship (struktur dasar kekerabatan) pada tahun 1949, dalam salah satu karya paling berpengaruh dalam teori hubungan kekerabatan pada periode pasca-perang.